Arsip | 12:05

Mengapa hadits-hadits lemah (dha’if) masih bisa ditoleransi kedudukannya oleh sebagian ulama?

28 Agu

Terdapat pendapat bahwa sebaiknya kita tidak serta merta antipati terhadap hadits-hadits dha’if. Karena para ulama memiliki cara pandang tersendiri dalam memahami hadits. Bisa jadi satu ulama menilai dha’if sebuah hadits, namun ulama lain justru menilainya shahih, dan sebaliknya.

Perhatikan contoh pada tiga hadits berikut:

  1. Diriwayatkan dari Asma’ binti Yazid ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Siapa pun wanita yang memakai kalung dari emas, maka pada hari Kiamat lehernya akan dipasangi kalung seperti itu dai api neraka. Dan siapa pun wanita yang memakai anting-anting dari emas, maka pada hari Kiamat telinganya akan dipasangi anting-anting seperti itu dari api neraka”. (HR Abu Daud dan An Nasa’i)
  2. Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah saw bersabda, barangsiapa ingin kekasihnya dipasangi anting-anting dari api neraka, maka hendaknya ia memasanginya anting-anting dari emas. Barangsiapa ingin kekasihnya dipasangi kalung dari api neraka maka hendaknya ia mengalunginya dengan kalung emas. Barangsiapa ingin kekasihnya dipasangi gelang dari api neraka, maka hendaknya ia memasanginya gelang dari emas. Tetapi hendaklah kalian mengambil perak, pergunakanlah sesuai keinginan kalian”. (HR Abu Daud)
  3. Hadits yang diriwayatkan oleh Tsauban ra bahwa Nabi saw memarahi Fatimah ra karena memakai kalung emas, lantas Fatimah menjualnya dan hasil penjualannya digunakan untuk membeli seorang budak, kemudian dimerdekakannya. Selanjutnya, hal ini diceritakan kepada Nabi saw, maka sabda beliau, “Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan Fatimah dari neraka”. (HR Nasa’i)

 

Mengenai tiga hadits tersebut, para ulama menyampaikan pendapat yang berbeda-beda:

Pertama, di antara ulama tersebut telah meneliti sanadnya, kemudian menemukan faktor-faktor kelemahan di dalamnya. Mereka menolaknya karena hadits tersebut dha’if sehingga tidak ada ketetapan hukum haram.

Kedua, ada ulama yang menganggapnya sebagai hadits shahih namun sudah dihapus (di mansukh) oleh dalil-dalil lain yang menyatakan halal berhias dengan emas bagi para wanita.

Ketiga, sebagian ulama menganggap sah hadits tersebut, namun mereka memberi ta’wil (interpretasi) bahwa ancaman itu berlaku bagi wanita yang berhias dan sengaja memperlihatkannya lantaran sombong. Jadi bukan ancaman pada perhiasannya. Sebagian yang lain berkata, “Kecaman ini ditujukan kepada wanita yang memakai perhiasan yang besar, karena sangat berpotensi munculnya rasa bangga dan sombong”.

Keempat, di zaman sekarang, ulama hadits seperti Nashirudin Al Albani berpendapat hadits tersebut shahih, dan memandangnya sebagai nash yang jelas mengharamkan perhiasan emas bagi wanita. Pendapat ini bertentangan dengan ijma’ (kesepakatan) para ulama yang membolehkannya dan telah menjadi pijakan fiqh seluruh mazhab serta diamalkan oleh manusia selama 14 abad.

Kelima, ada ulama yang berpandangan bahwa hadits hadits tersebut khusus bagi orang-orang yang tidak menunaikan zakat.